Memetika adalah ilmu yang membedah ‘
mem’ sebagai bahan
baku dasar pembentuk mental, sebagaimana genetika mendedah gen sebagai
bahan baku dasar pembentuk kehidupan fisik. Replikasi mental merupakan
kemampuan yang memisahkan manusia dengan primata lain.
Bahasa, budaya, agama,
merupakan produk-produk yang dimungkinkan karena adanya replikasi mem,
seperti halnya gen bereplikasi membentuk gugusan sel hingga menjadi
tubuh yang mampu bereproduksi dan mempertahankan diri.
Dunia sudah mengenal Gene atau gen sebagai sebuah abstraksi yang
bertanggung jawab pada kondisi biologis manusia. Gene adalah cetak biru
kehidupan, Dia yang bertanggung jawab membuat organ dan apa yang Nampak
dari tubuh kita. Ilmu biologi sudah mengakui eksisnya Gene ini sejak
dahulu.
Kemudian muncul pemahaman baru dari para ilmuwan biologi seperti Richard
Dawkins, Richard Brodie, Dennet, serta Susan Blackmore, yang meyakini
bahwa disamping Gene yang mengatur kondisi biologis manusia, ada sebuah
abstraksi lain yang bahkan amat penting menyetir kondisi manusia. Tak
lain adalah meme (baca: mim) atau mem. Meme adalah apa
yang ada didalam otak manusia, sesuatu yang mengatur lahirnya ide. Meme
adalah pelengkap, gene mengatur biologis, meme mengatur pemikiran.Meme
melahirkan ide dan pemikiran. Memetika adalah disiplin ilmu baru yang
mempelajari mengenai meme atau pembentukan ide manusia.
Meme, yang biasa dilafaldkan
mim, oleh
Ricard Brodie disebut sebagai "
batu-sendi
kebudayaan sebagaimana gen adalah batu-sendi kehidupan yang mampu
membentuk bangsa, bahasa, agama. Lebih dari itu meme dalam ruang lingkup
kecil juga menjadi batu-sendi akalbudi, pemograman “komputer” mental
Anda.”
Sebelum diberi pengertian itu, kata meme ini dicetuskan oleh seorang
ahli ilmu biologi (Biolog) dari Oxford University, Ricard Dawkins, dalam
bukunya, The Selfish Gene (1976). Dawkins mendefinisikan meme sebagai unsur dasar penyebaran atau peniruan budaya. Sedangkan pengetahuan tentang cara-cara ilmu kerja meme yang memiliki pola berinteraksi, berlipatganda dan berevolusinya itu namanya memetika.
Susan Blackmore menjabarkan “
Memes are ultimately responsible for us
having our homes and possessions, our position in society, and our
stocks, shares and money.” (Blackmore, 1999). Hal ini menjelaskan
betapa penting meme bagi manusia, sebab sifat dasar meme adalah
replikator, meme selalu berusaha menularkan ide dari pemikiran seseorang
kepada orang lain. Karena sifat dasar meme inilah Susan Blackmore
menyimpulkan lahirnya kebudayaan, serta bahasa adalah perintah meme yang
menginginkan proses replikasi atau penggandaan ide. Inilah alasan
kenapa kita berbicara, menciptakan bahasa, membuat alat tulis, alat
komunikasi, menemukan telepon, internet, berkesenian. Semuanya adalah
upaya mempermudah proses penyebaran ide meme tersebut.
Melalui pendekatan memetika inilah kita dapat memahami bahwa globalisasi
sesungguhnya adalah bagian dari upaya penyebaran meme atau ide. Ini
sesuai dengan sifat dasar meme untuk menyebarkan dirinya. Maka Korean
Pop yang tengah digandrungi segenap kalangan masyarakat Indonesia
(bahkan dunia) sebelumnya hanya berawal dari meme atau ide seorang
penggagas. Lama-kelamaan meme tersebut mereplikasi diri dan menyebar ke
seluruh dunia. Mencoba menggandakan diri, terus menerus. Hingga akhirnya
meme tersebut menjadi tidak efektif dan tergantikan meme baru yang
lebih segar dan bagus.
Sebagai spesies yang bertarung melawan alam selama jutaan tahun, agenda
genetika selalu menggiring kita untuk bereaksi kuat terhadap isu seks, makanan, dan bahaya. Seiring dengan itu, tombol primordial memetika tak pelak adalah:
- kemarahan,
- ketakutan,
- kelaparan, dan
- nafsu birahi.
Menarik untuk direnungkan bahwa yang membuat sebuah informasi berkembang
sesungguhnya bukan persoalan ‘penting’ dan ‘tidak penting’, ‘berguna’
dan ‘tidak berguna’, melainkan seberapa banyak tombol primordial kita
yang ditembaknya sekaligus.
Para pengiklan tahu bahwa silhuet tubuh perempuan bisa membantu penjualan
sebuah mesin pompa air, yang sesungguhnya tidak punya hubungan langsung
dengan lekuk pinggul dan belahan dada. Mereka juga bisa menyembunyikan
bahaya rokok dalam sosok laki-laki gagah yang berarung jeram di alam nan
indah. Begitu juga dengan liputan berita yang kerap menciptakan suasana
kritis agar pemirsa merasa terdesak dan tercekam. Reporter berwajah
santai dan mengatakan ‘semua baik-baik saja’ tidak akan menularkan mem
kuat yang menjadikan berita itu punya nilai penting (atau tepatnya nilai
jual).
Seberapapun hebat urgensi yang ditawarkan, apa yang kita konsumsi
seringkali bukanlah apa yang kita butuhkan. Ini mengingatkan saya pada
penelitian Masaru Emoto; bagaimana molekul air rusak ketika didekatkan
pada teve yang memutar adegan kekerasan, dan sebaliknya, molekul air
membentuk gugus heksagonal saat diputarkan dokumenter alam. Tampilan
dunia yang baik-baik saja ternyata memperbaiki tubuh kita sampai level
molekular, sementara dunia yang keras dan bahaya—walau rating-nya lebih
tinggi—ternyata merusak kita sama besarnya.
Referensi: berbagai sumber