Dalam sebuah ceramah agama,  seorang ustadz mengatakan bahwa orang 
yang paling patut dikasihani adalah seseorang yang pernah mengalami 
kejayaan dalam suatu masa hidupnya. Namun sekarang jatuh bangkrut dan 
bahkan menggantungkan hidupnya dari belas kasihan orang lain. Dia yang 
dahulu hidupnya serba berkecukupan, memperoleh banyak kemudahan dan 
serba dilayani oleh para pembantunya. Kini mesti menghadapi itu semua 
seorang diri. Dulu banyak teman yang datang dan mengaku saudara, 
sekarang tidak seorangpun yang mau mengakuinya. Orang seperti inilah 
yang sepatutnya mendapatkan dukungan dari kita, agar mereka dapat lebih 
tegar dan sabar dalam menghadapi ujian hidupnya.
Dari Ubadah Al-Barra bin Azib ra., Rasulullah SAW menyuruh kami untuk mengerjakan tujuh perbuatan yaitu :
- menjenguk orang sakit,
 - mengiringkan jenazah,
 - mendoakan orang yang bersin,
 - menolong orang yang lemah,
 - membantu orang yang teraniaya,
 - menyebarluaskan salam dan
 - menepati sumpah
 
(HR. Bukhari dan Muslim).
Banyak orang takut menghadapi masa pensiun. Takut kehilangan jabatan,
 kedudukan, kekuasaan, penghormatan, status, merasa tidak dihargai lagi,
 merasa tidak dibutuhkan, berkurangnya pendapatan, dan mungkin juga 
takut kehilangan rumah dinas yang sudah bertahun-tahun ditempati. 
Ketakutan ini akan menimbulkan berbagai penderitaan yang dialami setelah
 seseorang memasuki masa pensiun atau yang disebut post power syndrome.
Kalau saja kita menyadari bahwa semua yang didapatkan sekarang adalah
 titipan dari Yang Maha Memiliki pastilah kita tidak akan ketakutan 
untuk melepasnya. Hidup di dunia ini hanyalah persinggahan, tempat kita 
mengumpulkan sebanyak-banyaknya amal kebaikan untuk mendapat tiket ke 
surga. Orang yang pandai adalah orang yang menyadari akan datangnya 
kematian dan mempersiapkan bekalnya untuk menemui Yang Maha Hidup.
Dan tidaklah kehidupan di dunia ini melainkan senda gurau dan 
permainan belaka dan sesungguhnya kampung akhirat adalah kehidupan yang 
sebenarnya, jika mereka mengetahui (QS. Al-Ankabut:64).
Agar tidak mengalami post power syndrome maka kita perlu 
mempersiapkan diri mulai dari sekarang, sejak masih aktif bekerja, yaaa 
.. . .  dari sekarang.
Alkisah…….
Lelaki paruh baya itu tampak terbaring lemah di atas 
pembaringannya. Matanya berkaca-kaca ketika bekas koleganya selama dia 
masih aktif bekerja dulu datang menjenguknya. Melihat yang dijenguk 
menangis, sang penjenguk yang rata-rata ibu-ibu pun ikut-ikutan 
menitikkan air mata. Tak pernah terbayang di benak mereka, bahawa kepala
 sekolah mereka yang dulu begitu garang dan berwibawa di depan anak 
buahnya, kini tengah terpuruk tertimpa stroke, tak lama setelah ia tak 
lagi menjabat sebagai kepala sekolah.
Sebutlah namanya Pak Joyo. Usianya masih 60 tahun lebih sedikit. 
Beberapa tahun lalu, dia menjabat sebagai kepala sekolah X. Ketika ada 
aturan pembatasan masa kerja kepala sekolah, beliau termasuk yang 
terkena aturan ini. Ia pun kembali menjadi guru biasa. Kejadian ini 
cukup membuatnya tertekan karena sebagai orang yang pernah berkuasa, ia 
tak dapat dengan mudah memposisikan dirinya sebagai anak buah. Tak lama 
kemudian, ia pun sakit-sakitan dan terakhir ini dia terkena stroke.
Berbeda dengan Pak Hasan, yang juga pensiunan. Setelah pensiun, 
beliau lebih sibuk mengurus tanamannya. Selain itu, dia juga disibukkan 
dengan kegiatan mengantar-jemput cucunya yang masih TK di sekolah. 
Setelah pensiun, hidupnya menjadi terasa lebih hidup, lebih ceria, dan 
lebih berwarna.
Yups, inilah dua kondisi yang seringkali dialami oleh pensiunan. Satu
 dapat menerima dan menikmatinya dengan lapang dada, sedangkan yang satu
 lagi belum dapat menerima bahwa dirinya sudah tak lagi memiliki 
kekuasaan seeperti dulu. Hal yang kedua ini disebut sebagai post power 
syndrome, sindroma setelah kekuasaannya berakhir. Sebenarnya tak hanya 
pada bekas orang yang memiliki kekuasaan saja, tetapi sindroma ini juga 
bisa menimpa orang-orang yang pernah berjaya pada masa lalu, misalnya 
pada bintang cilik yang cemerlang pada zamannya tetapi ketika dewasa 
tidak lagi dikenal, atau pada artis yang pernah begitu laris pada ketika
 mudanya tetapi tak lagi dapat job saat usia telah beranjak tua. Semua 
orang bisa berpotensi terkena post power sindrome.
Banyak orang yang terkena post power syndrome ini setelah masa 
kejayaannya berakhir. Gejala paling sederhana, adalah ketika dia lebih 
suka bercerita mengenang masa lalunya yang penuh kejayaan daripada 
menghadapi hari-hari yang tengah dihadapinya. Atau, justru ia menjadi 
orang yang sedemikian menutup diri dari lingkungannya karena merasa ia 
tak lagi memiliki kekuasaan sehingga orang lain tak mau menghargai 
dirinya.  Ia menjadi orang yang pemurung dan mudah tersinggung, juga 
selalu menganggap negatif semua hal yang terjadi di sekitarnya.
Memahami Post-Power Syndrome 
Post-power syndrome, adalah 
gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang 
kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, ketampanannya, 
kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang
 realita yang ada saat ini. Seperti yang terjadi pada kebanyakan orang 
pada usia mendekati pensiun. Selalu ingin mengungkapkan betapa begitu 
bangga akan masa lalunya yang dilaluinya dengan jerih payah yang luar 
biasa.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya post-power syndrome. 
Pensiun dini dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila orang 
yang mendapatkan pensiun dini tidak bisa menerima keadaan bahwa 
tenaganya sudah tidak dipakai lagi, walaupun menurutnya dirinya masih 
bisa memberi kontribusi yang signifikan kepada perusahaan, post-power 
syndrom akan dengan mudah menyerang. Apalagi bila ternyata usianya sudah
 termasuk usia kurang produktif dan ditolak ketika melamar di perusahaan
 lain, post-power syndrom yang menyerangnya akan semakin parah.
Kejadian traumatik juga menjadi salah satu penyebab terjadinya 
post-power syndrome. Misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang 
pelari, yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu 
menerima keadaan yang dialaminya, dia akan mengalami post-power 
syndrome. Dan jika terus berlarut-larut, tidak mustahil gangguan jiwa 
yang lebih berat akan dideritanya.
Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah 
lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang yang 
berhasil melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan 
dengan hati yang lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana 
seseorang tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan 
tuntutan hidup yang terus mendesak, dan dirinya adalah satu-satunya 
penopang hidup keluarga, resiko terjadinya post-power syndrome yang 
berat semakin besar.
Beberapa kasus post-power syndrome yang berat diikuti oleh gangguan 
jiwa seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka waktu tertentu, 
depresi yang berat, atau pada pribadi-pribadi introfert (tertutup) 
terjadi psikosomatik (sakit yang disebabkan beban emosi yang tidak 
tersalurkan) yang parah.
Gejala
Beberapa gejala dari post-power syndrome biasanya dapat dibagi ke dalam 3 kelompok:
- Gejala fisik ; misalnya tampak kuyu, terlihat lebih tua, tubuh lebih lemah dan tampak kurang bergairah, sakit-sakitan.
 - Gejala emosi ; misalnya mudah tersinggung, pemurung, senang menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan tak suka dibantah.
 - Gejala perilaku ; misalnya menjadi pendiam, pemalu, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang, mencela, mengkritik, tak mau kalah, atau menunjukkan kemarahan dan kekecewaan baik di rumah maupun di tempat umum.
 
Turner & Helms (dalam Supardi, 2002) menggambarkan penyebab 
terjadinya post power syndrome dalam kasus kehilangan pekerjaan yakni
- kehilangan harga diri- hilangnya jabatan menyebabkan hilangnya perasaan atas pengakuan diri);
 - kehilangan fungsi eksekutif- fungsi yang memberikan kebanggaan diri;
 - kehilangan perasaan sebagai orang yang memiliki arti dalam kelompok tertentu;
 - kehilangan orientasi kerja;
 - kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu. Semua ini bisa membuat individu pada frustrasi dan menggiring pada gangguan psikologis, fisik serta sosial.
 
Ciri kepribadian yang rentan terhadap post power syndrome
Beberapa
 ciri kepribadian yang rentan terhadap post power syndrome di antaranya 
adalah mereka yang senang dihargai dan minta dihormati orang lain, suka 
mengatur, ‘gila jabatan’,  menuntut agar permintaannya selalu dituruti, 
suka merasa lebih unggul daripada yang lainnya, dan suka dilayani orang 
lain. Orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan 
tertentu juga rentan terhadap syndrome ini. Istilahnya orang yang 
menganggap jabatan, gelar, pangkat, atau kekuasaan itu adalah 
segala-galanya atau merupakan hal yang sangat berarti dalam hidupnya. 
Secara ringkas mereka ini disebut sebagai orang-orang dengan need of 
power yang tinggi. Selain itu, ada pula mereka yang sebenarnya kurang 
kuat kepercayaan dirinya sehingga sebenarnya selalu membutuhkan 
pengakuan dari orang lain, melalui jabatannya dia merasa ”aman”.
Sindrom ini bisa dialami oleh pria maupun wanita, tergantung dari 
berbagai faktor, seperti ciri kepribadian, penghayatan terhadap apa 
makna dan tujuan ia mengabdi, bekerja, dan berkarya, pengalaman selama 
bekerja, pengaruh lingkungan keluarga, dan budaya. Syndrome ini mampu 
mempengaruhi konsep diri seseorang, membuat seseorang merasa kehilangan 
peran, status, dan identitasnya dalam masyarakat menjadi berubah 
sehingga dapat menurunkan harga diri.
Penanganan
Bila seorang penderita post-power syndrome dapat
 menemukan aktualisasi diri yang baru, hal itu akan sangat menolong 
baginya. Misalnya seorang manajer yang terkena PHK, tetapi bisa 
beraktualisasi diri di bisnis baru yang dirintisnya (agrobisnis 
misalnya), ia akan terhindar dari resiko terserang post-power syndrome.
Di samping itu, dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga,
 dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya 
fase post-power syndrome ini. Seseorang yang bisa menerima kenyataan dan
 keberadaannya dengan baik akan lebih mampu melewati fase ini dibanding 
dengan seseorang yang memiliki konflik emosi.
Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta sangat membantu 
penderita. Bila penderita melihat bahwa orang-orang yang dicintainya 
memahami dan mengerti tentang keadaan dirinya, atau ketidak mampuannya 
mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaannya dan lebih mampu 
berpikir secara dingin. Hal itu akan mengembalikan kreativitas dan 
produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu. Akan sangat berbeda 
hasilnya jika keluarga malah mengejek dan selalu menyindirnya, 
menggerutu, bahkan mengolok-oloknya.
Post-power syndrome menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. 
Kematangan emosi dan kehangatan keluarga sangat membantu untuk melewati 
fase ini. Dan satu cara untuk mempersiapkan diri menghadapi post-power 
syndrome adalah gemar menabung dan hidup sederhana. Karena bila 
post-power syndrome menyerang, sementara penderita sudah terbiasa hidup 
mewah, akibatnya akan lebih parah.
Cerdas Menghadapi “Post Power Syndrome”
Post Power Syndrome
 tak akan menghinggapi kita jika kita menganggap kekuasaan yang sedang 
kita pegang ini hanyalah sementara. Jika hanya sementara, maka kita tak 
akan mengejar kekuasaan itu dan bahkan menyalahgunakan kekuasaan itu 
untuk kepentingan dirinya sendiri.
Selain itu, saat kita sedang berjaya, kita mestilah menyediakan 
rencana cadangan jika tak lagi memiliki jabatan. Paling tidak, kita 
memiliki rencana tentang apa yang akan kita lakukan jika masa kekuasaan 
itu berakhir. Untuk yang purnatugas bisa merencanakan kegiatan 
hariannya.
Tetap bergaul seperti biasa. Bergaul merupakan salah satu ciri kita 
sebagai makhluk sosial. Kalau kita mengasingkan diri, tentu kehidupan 
kita akan terasa suram. Beberapa orang mungkin akan berubah sikap ketika
 kita tak lagi punya kekuasaan. Tetapi yakinlah, akan banyak orang yang 
lebih menghargai kita ketika kita mampu untuk tetap bersosialisasi. 
Bahkan, akhirnya kita tahu mana orang yang tulus, mana orang yang tak 
tulus terhadap kita.
Melakukan kegiatan bermanfaat yang dulu tak bisa sering kita lakukan.
 Tanpa kekuasaan, mungkin kita akan memiliki pemasukan yang lebih 
sedikit. Namun, tanpa kekuasaan, kita jadi punya lebih banyak waktu 
luang. Jika dulu kita tak sempat untuk sekadar berhandai-handai dengan 
tetangga atau keluarga, sekarang waktu yang terluang lebih banyak 
sehingga kita bisa melakukan apa yang dulu tak kita lakukan.
Menghadapi semuanya dengan sudut pandang positif sangatlah penting. 
Dengan demikian, kita terhindar dari sikap berburuk sangka yang justru 
bisa merusak nood kita. Kita pun tetap bahagia dengan apa yang kita 
punya sekarang.
Kekuasaan bukanlah segalanya. Berakhirnya kekuasaan juga bukan akhir 
segalanya. Banyak orang yang tak bisa mengatasi post power syndrome, 
tetapi banyak pula yang cerdas menghadapinya sehingga hidupnya menjadi 
lebih baik meskipun tak lagi berjaya. Semuanya tergantung pada caranya 
menghadapi kenyataan.
Referensi :
Unit Psikologi Rehab Medik RSDS (http://www.suyotohospital.com)
Dianingtyas KH.(http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/02/13/cerdas-menghadapi-post-power-syndrome/)
Anda menyukai postingan diatas? Silahkan di share.
